Hikmah

 

          Memasuki milenium ketiga, semua bangsa maju sepakat untuk menyatakan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan prasyarat (pre-requiste) dalam meraih kemakmuran (prosperity). Teknologi dalam perekonomian global dianggap sebagai investasi dominan dalam pembangunan ekonomi. Kekayaan Sumber Daya Alam bukan lagi penentu keberhasilan ekonomi bangsa. Bangsa yang menguasai teknologi akan mampu menguasai bangsa yang walaupun memiliki sumber daya alam berlimpah tetapi tidak menguasai teknologi. Oleh karena itu membangun masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society) sangat diperlukan dalam rangka mendorong terciptanya kemampuan teknologi suatu bangsa.

          Sebagai bagian dari masyarakat dunia yang tak ingin ketinggalan dari bangsa lain sudah sepantasnya bangsa Indonesia bersiap-siap menyongsong era baru ini dengan mengoptimalkan segala sumber daya yang dimiliki. Secara kuantitas Sumber Daya Alam Indonesia masih bisa dikatakan mencukupi untuk beberapa tahun kedepan, akan tetapi pemberdayaan Sumber Daya Manusia yang selama ini kurang optimal.       Dalam rangka menyiapkan generasi yang mampu berkompetisi dalam pasar bebas maka  Universitas Gadjah Mada mengambil inisiatif sebagai Universitas Penelitian (Research University). Diharapkan dengan adanya kebijakan baru ini dapat memacu semangat para peneliti dilingkungan UGM dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang akhirnya siap berkompetisi dalam kancah globalisasi.

          Konsekuensi dari kebijakan ini adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh rektorat. Dengan alasan semakin berkurangnya subsidi pemerintah karena otonomi kampus maka pihak rektorat mengambil kebijakan pemberlakuan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) dengan harapan agar biaya-biaya yang dikeluarkan pihak rektorat bisa ditopang dari sana (meskipun hanya beberapa persen saja) karena toh nanti hasilnya akan dinikmati oleh mahasiswa juga. Hal ini juga dipicu juga karena selama ini SPA masing-masing Fakultas tidak jelas penggunaannya (illegal versi rektorat).

          Suatu kebijakan yang cukup tergesa-gesa dan ternyata banyak mendapat tentangan dari berbgai elemen terutama mahasiswa karena sebagai elemen terbesar dalam universitas terbesar ini mereka tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan kebijakan ini. Akhirnya kebijakan ini tetap saja dilaksanakan pada penerimaan mahasiswa baru 2002, suatu kebijakan yang penuh kontroversi karena tidak dipublikasikan lewat media massa. Meskipun banyak sekali orang tua calon mahasiswa baru yang kebingungan dan mersa dibohongi sepertinya pihak rektorat belum mau tahu. Pada akhir masa daftar ulang ternyata masih banyak (sekitar 800-an calon mahasiwa baru) yang belum daftar ulang karena apa yang mereka impikan tak sesuai dengan realita yang ada.

          Aksi menentang kebijakan BOP terus berlangsung baik atas nama lembaga formal (intra kampus) BEM KM-UGM maupun elemen gerakan lain yang selama ini mewarnai dinamisasai kampus biru ini baik dengan orasi, dialog sampai aksi mogok makan di gedung pusat oleh beberapa mahasiswa. Pada awalanya suara mahasiswa kurang diperhatikan oleh pihak rektorat karena mereka berasumsi toh yang dikenai kebijakan adalah mahasiswa baru dan mahasiswa lama nanti juga akan menikmati fasilitas yang ada. Akan tetapi logika seperti itu tidak dapat diterima oleh para mahasiswa karena hal itu sama saja dengan mendidik seseorang bersikap individualis, apatis dan membunuh jiwa kritis yang selama ini melekat dalam diri mahasiswa.

          Suatu hal yang cukup menggelikan ketika pihak rektorat mengumumkan adanya beasiswa BOP bagi para mahasiswa yang tidak mampu membayarnya, sebuah kebijakan yang sepertinya juga sangat reaksional dan berharap dapat memadamkan tuntutan mahasiswa tentang penghapusan BOP karena meskipun ada beasiswa BOP akan tetapi pungutan BOP tetap berjalan. Akhir yang cukup tragis ketika ada kebijakan baru tentang penarikan BOP belum lama ini, dari berbagai fenomena yang terjadi selama ini sepertinya pihak rektorat belum bisa menghasilkan suatu kebijakan yang aspiratif dan mengayomi masyarakat kampus biru ini. Penulis tidak tahu akan ada kebijakn baru apa lagi dari pihak rektorat seiring berubahnya situasi dan kondisi dikampus ini.

          Sudah selayaknya dalam membuat suatu kebijakan melibatkan setiap elemen yang ada. Dan setiap elemen punya komitmen untuk melaksanakan kebijakan itu sehingga tidak ada elemen yang tidak tahu aturan, sehingga cenderung saling menyakiti, melukai atau sering kali  saling menghancurkan padahal semua adalah satu keluarga.
          Sepatutnya aturan dilaksanakan secara adil, dibuat atas kesepakatan bersama. Dengan adanya kesepakatan bersama diharapkan tidak ada pihak yang dirugikan meskipun setiap elemen memiliki tawaran-tawaran  akan tetapi dengan adanya “transaksi” akan dihasilkan suatu kebijakan yang bisa diterima oleh pihak-pihak terkait. Aturan harus dibuat sejelas mungkin dan ada proses sosialisasi kepada publik sehingga tidak terjadi salah tafsir yang akhirnya menimbulkan konflik yang akan merugikan semua pihak

          Dalam membuat suatu kebijakan seharusnya juga dilandasi oleh jiwa yang bersih yang selalu tartaut kepada yang Maha Bijak. “Kebijakan” yang didasarkan oleh nafsu tentu saja tidak akan menghasilkan kemaslahatan akan tetapi akan menimbulkan kehancuran dalam masyarakat, kita seharusnya senantiasa mendekatkan diri pada-Nya agar selalu menjaga hati kita karena Tuhan bisa membolak-balikkan hati setiap makhluknya kapanpun Ia mau yang akhirnya kita tidak akan dipusingkan oleh gelombang masalah yang akan memporak-porandakan hidup kita.

          Dengan adanaya berbagai fenomena yang terjadi ini kita semua bisa belajar dari segala sesuatu yang telah ditakdirkan oleh-Nya dan kita akan terus berusaha belajar dari hikmah-Nya. (3@)

triad@emailku.com